Penulis: Nanda Wahyudi,ST ... Adalah salah satu Dewan Yayasan Lembaga Study Lingkungan (Ledylink)
Presma Unbari 2009,
-Eks. Ketua HMI Cab Jambi 2010-2011
Tulisan sederhana ini mungkin sedang bergeliria mencari pijakan untuk bertahan di tengah sejuta tulisan atas Izin tambang yang terjadi pada daerah tercinta sepucuk jambi sembilan lurah.Setidaknya ada sedikit titisan yang dapat disampaikan kepada pemangku kepentingan di bumi sepucuk jambi sembilan lurah.
Tentu pikiran pertama yang akan muncul di benak pembaca sekalian adalah puluhan mobil besar berisi hasil tambang yang menyusuri sempitnya jalan di tengah lingkaran besar bongkahan lahan tambang yang sering kita temui di jalan lintas setiap kabupaten sampai menuju ke pusat kota jambi. Belum lagi jika sejauh mata memandang, miliaran fatamorgana membentuk kiasan pada ratusan hektare bahkan ribuan sampai puluhan kilometer lahan tambang jika di totalkan dari setiap wilayah Kabupaten Propinsi Jambi. Kegiatan tambang itu sendiri bukanlah suatu kegiatan baru di Indonesia khususnya di prop.Jambi.
Sebagai propinsi yang kaya akan hutan lindung nya, Jambi kemudian dikenal sebagai salah satu penghasil tambang yang besar sebut saja batubara. Sejauh perkembangan zaman, berbagai negara berkembang mulai melirik sektor tambang untuk meningkatkan perekonomian daerah. Memang jelas jika berbagai perusahaan swasta mulai berkeliaran di berbagai kabupaten penghasil tambang. Kehadiran perusahaan ini pun memunculkan berbagai dampak positif dan negatif. Dampak positif yang timbul dengan adanya perusahaan tambang antara lain menciptakan lapangan kerja. Lain lagi, hasil produksi tambang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun pasar internasional sehingga hasil ekspor tambang tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Lebih daripada itu, kehadiran perusahaan tambang dapat menarik investasi asing untuk menanamkan modalnya di Prop.Jambi.
Namun demikian, layaknya dua buah sisi, kehadiran tambang tentunya menghadirkan dampak negatif. Pada lingkungan pertambangan terbuka (open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan.
Selain itu, dari sisi lain untuk memperoleh atau melepaskan biji tambang dari batu-batuan atau pasir seperti Pada pertambangan bawah, (underground mining) kerusakan lingkungan umumnya diakibatkan karena adanya limbah (tailing) yang dihasilkan pada proses pemurnian bijih.
Baik tambang dalam maupun tambang terbuka menyebabkan terlepasnya unsur-unsur kimia tertentu seperti Fe dan S dari senyawa pirit (Fe2S) yang menghasilkan air buangan bersifat asam (Acid Mine Drainage / Acid Rock Drainage) yang dapat hanyut terbawa aliran permukaan pada saat hujan dan masuk ke lahan pertanian di bagian hilir pertambangan, sehingga menyebabkan kemasamam tanahnya lebih tinggi. Tanah dan air asam tambang tersebut sangat masam dengan pH berkisar antara 2,5 – 3,5 yang berpotensi mencemari lahan pertanian.
PERTAMBANGAN DI PIHAK SIAPA
Beberapa dampak negatif akibat pertambangan jika tidak terkendali antara lain sebagai berikut: kerusakan lahan bekas tambang, merusak lahan perkebunan dan pertanian, dalam jangka panjang pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya, pencemaran baik tanah, air maupun udara misalnya debu, gas beracun, bunyi dll, kerusakan tambak dan terumbu karang dan menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan.
Berbagai akibat negatif yang timbul ini tentunya merugikan masyarakat sekitar daerah tambang. Jika dibandingkan dengan dampak positif, kehadiran kegiatan pertambangan tentu sangat tidak berpihak kepada masyarakat.
Alasannya jelas, pertama; kehadiran perusahaan tambang diberbagai daerah kabupaten sebut saja Sarolangun dan Bungo tentunya melalui jalur birokrasi. Salah satu tanda kepastian kehadiran berbagai perusahaan yang ada adalah melalui surat izin dari pemerintah. Pertanyaannya adalah apakah surat izin yang diterbitkan oleh pemerintah telah merepresentasikan keinginan warga setempat? Kedua, jika kita berpikir bahwa kehadiran perusahaan tambang akan menciptakan lapangan kerja, bagi penulis hal ini perlu dikritisi lagi.
Lapangan kerja berupa lahan tambang hanya diperuntukkan bagi tenaga kerja dari luar daerah. Tentunya dengan posisi yang strategis berbanding lurus dengan besaran gaji yang diterima. Ironisnya, penduduk setempat hanya menempati posisi pada kerja-kerja kasar.
Inilah salah satu bentuk ketidakadilan distributif yang terjadi disekitar lahan tambang. Ketiga, hasil dari kegiatan pertambangan pada umumnya hanya bersifat birokratis. Dengan dalih akan bermanfaat bagi pendapatan daerah, hasil pertambangan tak selalu diperuntukan bagi masyarakat di sekitar lahan tambang. Benar jika pemerintah daerah mendapat keuntungan dari kegiatan perizinan tambang namun keuntungan tersebut sangat benar pula Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan bertambah namun tak dikembalikan kepada rakyat kegiatan pasca tambang terutama Harapan akan air bersih, kegiatan belajar mengajar, jalan yang bermutu hanyalah bias bibir semata. Ketiga alasan ini setidaknya mewakili keresahan dari para pemerhati lingkungan di daerah. Karena jelas, posisi tambang tak berpihak pada rakyat.
Melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Banyak cara yang dapat digunakan dalam Berbagai tindakan preventif berkisar diantaranya pendekatan lingkungan, pendekatan teknologi, pendekatan administrasi maupun pendekatan edukatif. Namun demikian, kenyataan dilapangan berbicara jelas bahwa meskipun berbagai pendekatan dilakukan kegiatan tambang tetap dilakukan dan tidak seperti yang diharapkan. Rakyat dibutakan dengan iming-iming keuntungan yang didapat dari usaha tambang. Pemerintah pun dipenjara oleh janji-janji manis para investor. Toh, pada akhirnya kerugian akan kembali mendatangi rakyat kecil. Namun dibalik semuanya itu, Ledylink mencoba hadir dengan pikiran kerjasama untuk yang terbaik dengan tuntas menawarkan suatu animasi pasca tambang salah satunya melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pertama, pada pasal 68 poin (2), masyarakat Desa berkewajiban
a; membangun diri dan memelihara lingkungan Desa.
b; mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik,
c; mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman dan tenteram di Desa,
d; memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan dan kegotongroyongan di Desa dan
e; berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa. Dari kelima poin pada pasal 68 ini memberi arahan berpikir kepada kita bahwa posisi masyarakat desa (baca masyarakat di sekitar lahan tambang) sangat strategis dalam mengelola segala potensi yang ada termasuk potensi sumber pasca tambang.
POSISI MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG
Berbicara mengenai hak tentunya akan mengarah pada kewenangan maupun kekuasaan untuk berbuat sesuatu berdasarkan kewajiban Undang-Undang yang berlaku. Hak yang melekat pada pasal 68 ini memperkuat posisi masyarakat untuk menciptakan penyelenggaraan pembangunan desa maupun pemberdayaan masyarakat desa termasuk kegiatan pasca pertambangan berdasarkan semangat kekeluargaan. Semangat inilah yang tertuang dalam kelima poin dalam pasal 68.
Jika dikaitkan dengan kehadiran aktivitas pra tambang smpai pasca tambang pasal 68 ini dapat menjadi batasan hukum yang jelas untuk menyatakan “tidak” atas izin tambang yang berjalan jika konsistensi pertambangan tidak sesuai yang diharafkan. Menurut hemat penulis, seharusnya dapat ditempatkan pada situasi awal maupun proses aktif dimana aktivitas tambang akan masuk ke dalam tatanan kehidupan masyarakat sekitar. Dengan dalih partisipasi penuh masyarakat desa dalam mengambil keputusan “tidak” untuk aktivitas pra maupun pasca tambang seperti tertuang dalam huruf a dan huruf e. Disinilah kekuasaan tertinggi suatu keputusan berdiri. Bukan seperti praktek yang terjadi selama ini. Pemerintah seakan-akan menjadi raja diatas tanah desa. Ingat bahwa sejak disahkan UU Desa ini, wilayah desa memiliki hak otonom yang penuh layaknya kabupaten. Implikasinya adalah hubungan desa dan kabupaten bersifat koordinatif seperti dalam implementasi dana otonomi desa. Sehingga, surat izin tambang yang selama ini berkutat di pemerintah menurut hemat penulis perlu dikritisi dalam hal sifat representasinya.
Wilayah obyek tambang yang berada di desa sangat jelas mengarahkan sifat surat izin tersebut pada subyek pemberi izin yakni masyarakat desa yakni melalui permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan dan kegotongroyongan di Desa.
Penjelasan turunan dari kekuasaan tertinggi masyarakat desa kemudian tertuang dalam Bab IX mengenai Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan khususnya pada pasal 80 poin (1) yakni Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79; diselenggarakan dengan mengikutkan sertakan masyarakat Desa. Dalam pasal ini tersirat seberapa kuat posisi tawar masyarakat desa dalam menentukan pembangunan yang ingin diadakan di desa, termasuk di dalamnya kegiatan pertambangan dalam pembangunan desa karena berada di dalam wilayah desa setempat.
Jadi kehadiran UU Desa ini dapat menjadi benteng pertahanan pertama bagi rakyat desa pada kegiatan pra tambang sampai pasca tambang. Meskipun peraturan ini dalam bentuk Undang-Undang yang kekuatannya lebih kuat dari Peraturan Pemerintah Daerah. Namun demikian, implementasi Undang-Undang ini sebagai benteng pertama pun perlu dijaga. Perlu dilakukan pengawasan penuh dalam setiap lobi-lobi yang sekiranya terjadi dapat terjadi pada kepala desa atau perangkat desa. Jangan sampai uang panas pun mulai berkeliaran di rumah-rumah pejabat desa yang kemudian malah meneken tanda tangan; lepas dari semangat permusyawaratan pun gotong royong dalam pengambilan keputusan